Sajian Citra dalam Perspektif Apresiasi dan Politisasi Gempa Lombok

 

Era disruptif teknologi informasi yang kini menjadi basis pengetahuan terbarukan oleh segenap masyarakat penggiat sosial media tampaknya berbuah manis bagi individu dan komunitas tertentu untuk menggiring opini masyarakat dalam menciptakan stempel karakter yang bersifat permanen. Suka atau tidak, hal inilah yang kini sedang berkembang menuju titik jenuhnya dalam frekuensi waktu di tahun politik.

Sebagian besar masyarakat kita kini gegar akan teknologi informasi. Memiliki beberapa chat group dan akun sosial media nampak menjadi suatu keharusan. Addicted and anxiety, merupakan kalimat yang menggambarkan bagaimana kegelisahan individu saat ini untuk tidak bisa lepas dari gadget yang dimilikinya. Kaum milennial kini serentak menjadi generasi menunduk. Bukan karena etika sopan-santun yang membuat mereka menunduk, namun kebiasaan phubbing yang sudah di luar akal sehat.

Ilustrasi – Internet hoax

Tidak terkecuali para elit politik yang mengatasnamakan rakyat, beragam latar profesi mulai dari pelajar, mahasiswa, karyawan, profesional, bahkan mereka yang pengangguran sekalipun kini seolah berubah menjadi ahli agama, ekonomi, sosial, politik, dan tata negara. Ilmu yang diperoleh didapatkan dari beragam broadcast chat messenger dan sosial media (sosmed). Gurauan gelar akademis ini dikenal dengan istilah Sarjana Sosmed (S.S). Alih-alih men-share informasi, tanpa disadari yang dilakukan adalah menebarkan berita bohong (hoax), serta ujaran kebencian yang dibumbui dengan aneka fitnah dan sentimental SARA.

Salah satu topik yang sedang ramai digoreng saat ini adalah bencana gempa bumi di Lombok. Rasanya sudah cukup kenyang bagi kita mendengarkan pemberitaan terkait musibah ini. Bencana yang menelan ratusan korban dan ribuan pengungsi ini menjadi santapan lezat bagi mereka yang cenderung memanfaatkan situasi untuk menggiring opini. Sehingga tidak salah kalau hal ini disamakan dengan upaya pembunuhan karakter secara masal lazimnya genosida namun dalam hal pengrusakan citra dan nama baik pihak tertentu.

Pemerintah sendiri sebenarnya sudah bertindak sangat luar biasa dalam menyikapi keadaan bencana ini. Bahkan Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo didampingi Gubernur Nusa Tenggara Barat, Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A. (TGB), turut menyambangi wilayah terdampak gempa. Bukan hanya sekedar meninjau tetapi juga untuk mempersiapkan giat revitalisasi dan pemulihan ekonomi. Koordinasi dan pendistribusian ratusan ribu ton logistik dan milyaran rupiah dana yang dikucurkan untuk membantu para korban dan pengungsi di Lombok juga menjadi perhatian yang cukup serius melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Daerah (Gubernur NTB).

Presiden RI, Jokowi dan Gubernur NTB, Zainul Majdi (TGB) menemui korban gempa Lombok di tenda pengungsian.

Meskipun demikian, sudah menjadi lumrah apabila setiap kegiatan pemerintah selalu mendapatkan kritisi yang berlebihan dari kubu oposisi. Dalam politik, ini adalah hal yang wajar namun tentu sangat tidak sehat. Sentimentil yang dibumbui dengan aroma ketidakpercayaan menjadi gorengan hangat penuh kolesterol yang siap disajikan kepada penggiat sosial media. Sasarannya jelas, yaitu para warganet yang memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang tidak mumpuni di bidangnya.

Pemberitaan yang masif dan sulit difiltrasi, sama halnya dengan melakukan kebohongan berulang-ulang yang pada akhirnya hal tersebut dapat diterima dan menjadi suatu kebenaran. Tentu akan sangat berbahaya apabila jemari kita menjadi latah. Efek domino dengan membagikan satu konten berita negatif akan berimbas panjang pada perspektif multi tafsir oleh penerimanya yang lain. Perspektif seperti inilah yang seharusnya dihindari. Penilaian berdasarkan subjektivitas tentu tidak akan pernah bisa dibenarkan dalam hal apapun. Sehingga persuasi dan provokasi akhirnya seperti dua mata koin yang saling berdampingan.

Terlepas dari kunjungan Kerja Presiden Jokowi ke wilayah terdampak gempa, kini porsi lain ditawarkan melalui sajian status bencana. Hal yang sangat menyedihkan ketika pihak tertentu ramai berteriak mengatasnamakan korban gempa Lombok agar statusnya dinaikkan menjadi bencana nasional. Padahal tidak semua dari korban bencana memperdulikan hal tersebut. Yang dibutuhkan adalah penanganannya, bantuan yang mereka terima, serta pemulihan kondisi pasca bencana.

Pemerintah tentu memiliki penilaiannya dalam menetapkan status bencana nasional. Dari berbagai indikator yang ada seperti: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Namun daripada itu yang perlu dilihat dan dipertimbangkan juga antara lain kemampuan pemerintah daerah dalam menangani wilayahnya. Kita masih melihat peran Gubernur NTB, ketika terjun ke lokasi terdampak gempa, serta pemerintahan daerah yang masih dapat beroperasi hingga kini. Sehingga, kita tidak bisa menyamakan gempa Lombok dengan gempa Flores dan Tsunami Aceh yang berstatus bencana nasional. Ketika pemerintahan setempat lumpuh maka pemerintah pusat-lah yang mengambil peranan penting. Namun bukan berarti pemerintah pusat tidak memiliki peran ketika pemerintah daerahnya bisa menangani. Koordinasi tetap diperlukan untuk memobilisasi bantuan dan revitalisasi di segala bidang.

Alasan lainnya yang juga menjadi perhatian pemerintah mengapa status bencana tidak dinaikkan adalah agar tidak berpotensi dikeluarkannya “travel warning” bagi para pelancong asing untuk berkunjung ke Indonesia. Karena bagaimanapun salah satu sumber pendapatan negara dan juga pertumbuhan terbesar ekonomi Indonesia adalah melalui sektor pariwisata.

Dalam hal ini pemerintah nampaknya sedang dalam posisi catch 22, di mana gorengan ini semakin terasa gurih apabila dinaikkan menjadi satus bencana nasional. Dengan merosotnya pendapatan dari sektor pariwisata maka pemerintahan Jokowi dinilai gagal dalam menaikkan taraf ekonomi. Namun apabila tidak ditetapkan menjadi bencana nasional, maka kubu pengkritik tersebut seolah menjadi pahlawan masyarakat Lombok yang ikut berteriak membela kepentingan daerahnya.

Inilah realitas makanan warga Indonesia saat ini. Sajian yang dihidangkan lewat beragam media memiliki dua perspektif yang memiliki argumennya masing-masing. Belum selesai euforia kita dalam memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 yang diikuti dengan gegap gempita mata dunia melihat kebesaran negara kita lewat opening ceremony Asian Games 18 Agustus yang lalu.

Meskipun telah mendapat pengakuan dunia internasional lewat acara tersebut, namun masih saja Pemerintah mendapat kritik pedas dari para oposisi. Rasanya aneka gorengan tersebut belum juga habis di tudung saji. Kritik mengenai dana Rp 645 miliar yang digelontorkan dianggap terlalu besar. Seremoni tersebut dinilai tidak beretika mengingat saudara-saudara kita yang menjadi korban gempa Lombok sedang dalam keadaan susah.

Upacara pembukaan Asian Games ke-18 yang di gelar di GBK – Jakarta, disaksikan oleh ratusan ribu penonton dan ditayangkan di lebih dari 45 negara.

Pertanyaannya, apakah dengan adanya bencana Lombok, maka acara seremoni Asian Games yang sudah direncanakan sejak tahun 2014 yang lalu harus dibatalkan? Apakah dengan ini artinya Indonesia melempar tanggung jawab menjadi tuan rumah ke negara lain? Apakah pengakuan Indonesia oleh dunia sebagai negara besar dan bermartabat harus dipertaruhkan? Apakah dengan adanya kegiatan Asian Games ini maka para korban gempa di Lombok tidak diperhatikan? Apakah dengan ini maka pemerintah Indonesia di anggap lalai terhadap warganya?

Rasanya sangat tidak adil apabila harga diri bangsa dipertaruhkan di depan 45 negara Asia yang berpartisipasi. Sejatinya Indonesia bukan hanya Lombok, namun Lombok adalah bagian dari Indonesia. Maka tidak seharusnya saudara kita yang sedang dilanda bencana menjadi tumbal kepentingan politik praktis dan penggiringan opini.

Masih dalam suasana memperingati hari kemerdekaan RI ke-73, Semoga sajian terakhir ini menjadi hidangan pencuci mulut yang cukup manis dan tidak ada lagi gorengan-gorengan penuh kolesterol lainnnya yang merongrong kesehatan persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Dengan semangat Asian Games ke-18 ini, saatnya kita berolahraga untuk menghilangkan kolesterol jahat yang ada di pikiran dan hati kita.

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter