Revitalisasi Peran Akademisi Menyambut Hardiknas

di Tengah Pandemi, dan Kesucian Ramadhan

 

(Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM. – Dosen dan Kabag. Humas STIE AMM)

 

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa dunia kini tengah berperang melawan pandemi mematikan yang dikenal dengan nama Covid-19 yang merupakan spesimen virus layaknya senjata pemusnah masal yang tidak diketahui asal muasal inangnya, namun memiliki daya ledak yang mampu memporak-porandakan kehidupan sosial dan ekonomi dunia. Sejak kemunculannya sekitar dua bulan yang lalu, setidaknya di Indonesia telah jatuh korban meninggal sebanyak 784 orang, dan sebanyak 227 ribu korban meninggal lainnya di seluruh belahan dunia (data per 30 April 2020).

Berkaca dari hal tersebut, kita harus menyadari bahwa bukan hanya kita dan keluarga kita saja yang mengalaminya. Dampak luar biasa yang ditimbulkan dari pandemi ini berimbas kepada kehidupan sosial bermasyarakat, dan parahnya telah memukul mundur berbagai sektor perekonomian dunia. Sekali lagi bukan hanya kepada diri kita pribadi, namun juga negara, dan seluruh bangsa di dunia ini.

Sebagian dari kita mungkin sudah merasa bosan untuk membicarakan berapa jumlah korban yang terus berjatuhan setiap harinya, namun sebagian lainnya malah semakin antusias dan memanfaatkan situasi krisis seperti ini untuk memuaskan ego dan nafsu syahwat politiknya, atau bahkan tanpa sadar mungkin kita sendiri yang terjerembab sebagai produsen dan distributor kepanikan masyarakat. Hal ini menyebabkan mosi tidak percaya publik kepada pemerintah dan muncul berbagai tagar di sosial media dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah saat ini.

Pernahkah terbesit dalam benak kita, tidak terkecuali aktor akademisi bahwa para warganet kini tengah menjadi ahli bak Magister Corona? Sebagian lagi bahkan mendadak menjadi kaum spesialis ekonom dengan kemampuan forecasting layaknya Profesor jempolan di jejaring sosial WhatsApp Group (WAG). Padahal forecasting yang dikemukakannya tidak melalui analisis dan riset ilmiah, meniadakan kajian literatur yang tervalidasi keilmuannya, dan bahkan hanya mengandalkan share tanpa saring (proses filtrasi) dari sumber berita yang tidak jelas. Jangankan untuk menyaring pesan, membedakan mana berita baik dan berita abal-abal yang berisi narasi provokasi dan propaganda negatif saja rasanya cukup kesulitan. Sehingga informasi dan berita apapun yang masuk ke dalam WAG mereka, akan dianggap sebagai kebenaran mutlak yang layak untuk disebarluaskan.

Kita tentu masih ingat bagaimana masifnya berita kepanikan yang mencuat ke berbagai platform jejaring media sosial beberapa waktu lalu yang terkait dengan pemberitaan bahwa di tengah pandemi Covid-19, negara Indonesia dinyatakan mendekati ambang kehancuran ekonomi besar layaknya di tahun 1998 silam dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang pernah menembus angka Rp17 ribu, sehingga disamakan dengan kejadian tahun 1998, di mana saat itu rupiah terjun bebas hingga 800 persen dari kisaran angka Rp2 ribu ke kisaran angka Rp16 ribu.

Bila dikaitkan dengan turunnya nilai rupiah beberapa waktu lalu dari angka awal Rp14 ribu ke Rp17 ribu? Berapa persen nilai perlemahannya? Bukankah nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini telah kembali stabil ke angka Rp14 ribu (per 30 April 2020)?

Kita tidak akan membahas masalah ekonomi lebih jauh, karena hal ini hanya akan kembali menimbulkan perdebatan yang tidak berujung dari para ahli yang mementingkan ego dan para spekulan musiman yang tidak memahami bidang ekonomi secara keilmuan. Lebih dari itu, yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini adalah bagaimana mengajak masyarakat untuk bersatu membangun negeri ini dari “keterpurukan” akibat pandemi Covid-19.  Dalam artikel ini, Penulis ingin melihat dari kacamata akademisi yang sekaligus juga sebagai praktisi public relations (hubungan kemasyarakatan/humas) perguruan tinggi.

Betapa pentingnya peran akademisi dalam kegiatan mengedukasi (mendidik) masyarakat, maka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap tanggal 2 Mei menjadi hari besar pendidikan yang terus diperingati setiap tahunnyab . Bagi para akademisi, tentu mereka paham betul makna dari peringatan Hardiknas. Bukan hanya sebagai simbol perayaan dan reminder tahunan, namun Hardiknas menjadi momentum besar bagi para akademisi untuk terus bergerak mencerdaskan kehidupan bangsa melalui edukasi.

Sejatinya akademisi dinilai sebagai palang pintu cerdas peradaban bangsa. Akademisi seharusnya berperan dan ikut membantu pemerintah untuk bersama menanggulangi berbagai masalah persoalan bangsa dengan cara memberikan solusi serta jalan keluar melalui kajian keilmuannya; baik di bidang sosial, komunikasi, kesehatan, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya.

Kenyataannya, masih banyak kita temui akademisi dan lembaga pendidikan (tinggi) yang terkesan acuh tak acuh di situasi seperti saat ini. Yang lebih memperihatinkan apabila ditemui bahwa akademisi tersebutlah yang berperan dalam menyebarluaskan berita dan sharing tulisan yang bertendensi ke arah perpecahan dan timbulnya konflik internal organisasinya, bahkan mencuat hingga ke masyarakat (publik eksternal).

Bukankah hal ini dapat menyesatkan persepsi publik yang menerima informasi tersebut? Publik awam akan menilai bahwa informasi yang cenderung bernarasi provokatif tersebut dapat dibenarkan dan dipercaya karena berasal dari seorang akademisi yang notabene dianggap sebagai kaum intelektual. Akademisi bisa menjadi siapa saja, entah itu guru, dosen, hingga mahasiswa yang masih awam sekalipun dengan mencatut sumber informasi yang tidak jelas.

Sejuta alasan dan keluhan tentunya bukan hanya ada pada diri kita pribadi saja yang selalu menuntut untuk terus diurus dan diperhatikan oleh pemerintah. Karena semua warga dunia juga tengah berjuang pada krisis dan keadaan yang sama. Artinya dibutuhkan kearifan nalar dan kebijaksanaan kita dalam menyikapi keadaan ini. Sungguh sangat egois individu atau kelompok tertentu yang selalu menyudutkan upaya pemerintah sebagai Ulil Amri-nya yang tengah berjuang keras demi menanggulangi pandemi dan dampaknya di tengah masyarakat.

Bila dicermati lebih dalam, perayaan Hardiknas kali ini terbilang spesial karena juga bertepatan dengan pelaksanaan ibadah Ramadhan dan hari raya Idul Fitri 1441 H. Di bulan ini juga bertepatan dengan hari raya Waisak bagi umat Buddha (7/5), serta peringatan kenaikan Isa Almasih bagi umat Nasrani (21/5). Bagi mereka yang berprofesi di bidang medis (dokter) tentu bulan ini juga menjadi bulan peringatan yang cukup penting, mengingat pada tanggal 20 Mei 2020 diperingati sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Kita menghargai peran dan jasa para dokter, perawat, dan relawan medis lainnya di hari HBDI sebagai pasukan garda terdepan yang secara nyata telah berani mengorbankan nyawa di tengah pandemi untuk melindungi bangsanya. Bersamaan dengan HBDI, bangsa Indonesia juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional yg juga jatuh pada tanggal 20 Mei 2020.

Bagi umat Islam, Ibadah Ramadhan yang kini tengah dijalankan jelas terasa berbeda dari Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Masjid yang biasanya “mendadak makmur” dipenuhi jama’ah yang tengah berbondong mengejar pahala, kini menjadi sunyi karena diberlakukannya physical distancing. Selain itu perubahan sosial ekonomi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 juga menjadi kendala tersendiri untuk berkegiatan dan memenuhi kebutuhan hidup di bulan Ramadhan.

Meskipun demikian, dampak pandemi ini bukanlah perjuangan yang terberat di bulan Ramadhan, karena sejatinya perjuangan terberat adalah untuk melawan hawa nafsu selama satu bulan penuh lamanya, yang akan menjadikannya perbaikan kualitas kehidupan (iman dan taqwa) manusia di sebelas bulan berikutnya.

Apabila nafsu syahwat politik masih membekas kuat di hati sebagian kaum intoleran “cerdas” yang terus menyimpan dendam, maka bulan Ramadhan ini merupakan saat yang tepat menghilangkan ego dalam diri. Sampai kapan hal ini terus berlangsung? Bagaimana mungkin kita mengharapkan berkah-Nya namun dalam kehidupan sehari-hari kita terus menaruh benci dan gemar memprovokasi?

Jadikan Ramadhan kali ini benar-benar menjadi bulan penuh kesucian yang seharusnya mampu untuk menyadarkan segenap lapisan masyarakat tersebut untuk kembali mensucikan hati dari prasangka buruk, kegemaran mencaci-maki Ulil Amri (pemerintah/pemimpin), dan menyebarluaskan berita yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, berita yang bertendensi menimbulkan kepanikan dan arah perpecahan. Begitu juga dengan hadirnya perayaan dan peringatan hari keagamaan umat Buddha dan Nasrani berikutnya di bulan Mei ini yang tentunya juga membawa pesan kedamaian, serta mengajak kita untuk berbuat kasih sayang kepada sesama.

Sebagai akademisi, marilah kita bersama untuk saling mengedukasi masyarakat. Kita sampaikan berita baik yang dapat menguatkan kehidupan bangsa, kajian keilmuan yang dapat meningkatkan semangat, antusias, dan harapan masyarakat untuk terus produktif. Kita kaji kembali bidang keahlian dan keilmuan masing-masing agar tumbuh berbagai ide, gagasan dan pemikiran berupa hasil temuan produk, jasa, sistem dan inovasi terbarukan lainnya yang dapat berguna untuk menunjang kehidupan masyarakat. Sebagai warga negara yang baik, kita juga harus memberikan dukungan dan kepercayaan terhadap kinerja dan upaya pemerintah.

Diikuti dengan semangat Hari Kebangkitan Nasional, maka bulan Mei ini sepatutnya menjadi peringatan bagi kita semua. Bahwa dengan bersatu kita bisa bangkit bersama dari keterpurukan dan merayakan kemenangan sejati dengan sukacita, karena kita telah berhasil memenangkan perang terbesar untuk melawan hawa nafsu dari dalam diri kita.

 

*Artikel ini telah terbit di harian umum Suara NTB – Sabtu, 2 Mei 2020.

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter