Relevansi Eksistensi Pendidikan Keuangan & Perbankan terhadap Separasi Puluhan Ribu Pegawai Bank
Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM.
(Dosen Manajemen dan Praktisi Public Relations STIE AMM Mataram)
Forecasting para ekonom dan ahli IT di tahun 2016 yang lalu mengenai nasib puluhan profesi yang terancam punah akibat tergilas pesatnya laju teknologi digital sudah tidak bisa disangkal lagi. Salah satu dari sekian profesi yang terdampak adalah Pegawai Bank (Bankir). Profesi primadona yang menjadi impian dan pelarian para sarjana di dekade 1980 hingga awal tahun 2000-an ini, kini tengah memasuki masa senjanya.
Sejak ditemukannya mesin ATM, kejayaan perbankan mulai tampak sinarnya di era 80-an. Meningkatnya geliat ekonomi dan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan ini, menjadikan para sarjana dekade 90-an baik insinyur, arsitek, pertanian, kimia, dan sebagainya yang tidak mengenyam bangku ekonomi mencoba peruntungannya bekerja di sektor perbankan. Sebagian kita mungkin bertanya, bagaimana mungkin mereka yang tidak mengambil jurusan ekonomi bisa sukses berkarier di dunia perbankan? Jawabannya adalah “sangat mungkin”, karena yang dibutuhkan oleh dunia perbankan adalah pola pikir para sarjana tersebut.
Ya, pola pikir artinya kemampuan daya intelegensia individu tersebut dalam menganalisis masalah, kecepatan dan ketangkasan menyusun strategi, melakukan kalkulasi, bertindak dan mengambil keputusan dari berbagai pertimbangan, kemampuan memecahkan masalah, dan lain sebagainya. Dengan memiliki kemampuan tersebut, toh perusahaan hanya perlu menyampaikan job description sesuai dengan jabatan, dan memberikan program pelatihan yang tepat sebelum mereka mulai bekerja. Sehingga profesi perbankan bukan hanya disematkan hanya untuk mereka yang bergelar sarjana ekonomi atau minimal diploma sektor perbankan saja, namun juga untuk mereka yang memiliki daya kompetensi intelegensia di bidang tertentu.
Setelah memasuki era berbasis digital seperti saat ini, kompetisi di bidang pendidikan tinggi juga kian memanas. Aneka inovasi dan temuan metode pembelajaran daring (on line) mulai digunakan. Sehingga kualitas mutu perguruan tinggi berkarakter konservatif obsolete akan sulit bersaing dari mereka yang benar-benar mengupayakan pembaruan sistem pendidikan. Di atas kertas, visi misi setiap lembaga pendidikan bisa saja terasa gurih memukau, namun aplikasinya masih banyak yang sekedar sebatas angan-angan karena proses dalam upaya pencapaian visi misinya tidak sinergis dengan perkembangan zaman.
Namun tidak arif pula bila kesalahan dilemparkan hanya kepada lembaga. Peserta didik yang hanya diam terpaku mengandalkan keterbatasan ilmu dan fasilitas yang diperoleh di lembaga pendidikan (perguruan tingginya), maka mereka juga berpotensi hanya untuk menghangatkan kursi pemain cadangan di arena lapangan kerja dan dunia usaha (menjadi pengangguran terdidik). Untuk itu diperlukan keselarasan oleh lembaga penyelenggara pendidikan dan etos belajar para peserta didiknya.
Bagaimana dengan program pendidikan Keuangan dan Perbankan yang digelar di perguruan tinggi dewasa ini? Masih relevankah impian profesi primadona tersebut dengan tantangan industri berbasis teknologi digital saat ini?
Sebelumnya kita perlu menyamakan persepsi, bahwa era “zaman now” yang kini terinvasi oleh para generasi Millenial dan Y, telah banyak membunuh profesi yang bersifat konvensional. Kita sudah lelah mendengar bagaimana hancur-leburnya bisnis pusat perbelanjaan, transportasi umum, hingga restoran, yang masih menjajakan produknya secara konvensional dengan menunggu pelanggan berbaik hati untuk datang walau hanya sekedar melihat-lihat. Padahal kini semua barang bisa dipesan lewat belanja online, dan bila hendak bepergian kemana saja hanya bermodalkan sentuhan jari, maka kendaraan yang mengantar pun datang. Selain itu nasib industri hiburan seperti rekaman musik pun kini harus dipaksa berteman dengan aplikasi Spotify dan Joox, hingga tayangan televisi dan sinema yang tergerus oleh kanal YouTube dan aneka program Netflix. Para pelakunya tidak lain adalah generasi yang eksis saat ini, sehingga tepat dikatakan bahwa “now generation is the real economic killer”.
Kembali kepada profesi bankir yang berhadapan dengan kemajuan teknologi, awal tahun 2019 yang lalu dilaporkan bahwa setidaknya lebih dari 50.000 orang pegawai bank telah di PHK sejak tahun 2016 (CNBC Indonesia, 16/1/2019). Baik bank milik pemerintah maupun swasta kini tengah berjuang meningkatkan efisiensi ditengah tuntutan teknologi berbasis digital dewasa ini. Pilihannya adalah “beradaptasi atau mati”. Terdengar berlebihan? Tidak juga. Perbankan yang tidak mengikuti perkembangan tren teknologi digital dalam aktivitas dan usahanya maka akan tertinggal oleh para kompetitornya dalam menjaring dana nasabah.
Teknologi memaksa bank untuk mengurangi jumlah teller, customer service, hingga sales dan marketing. Pekerjaan yang dilakukan para bankir tersebut kini sudah dapat digantikan melalui perkembangan mesin ATM berbasis deposit cash machine, sms banking, online (internet) banking, dan mobile banking, sehingga para nasabah tidak perlu lama mengantre menunggu panggilan nomor urut untuk mendapatkan pelayanan jasa perbankan. Bahkan layanan contact center-pun sudah tergantikan oleh mesin, seperti halnya layanan pada Bank BRI, bernama Sabrina (Sahabat BRI Anda) yang berupa chatbot (your virtual assistant).
Fenomena advertising di berbagai media elektronik dan sosial menginformasikan bahwa dengan berbekal smartphone, masyarakat dapat dengan mudah membuka berbagai rekening tabungan di mana saja dan kapan saja, seperti fitur layanan mobile banking yang semisalnya terdapat pada Bank BCA, dan Bank BNI. Bukankah hal ini mengurangi jatah pekerjaan dari seorang Customer Service?
Selain itu para nasabahpun kini sudah tidak perlu repot memiliki buku tabungan untuk mengetahui berapa jumlah saldo dan bukti transaksi atau mutasi rekening. Semuanya bisa diakses melalui platform digital. Melakukan transfer, setoran, dan penarikan selain dalam jumlah besar terasa sangat klasik bila dilakukan melalui seorang teller.
Peran digital marketing dalam menjual produk dan layanan perbankan juga tidak bisa dikesampingkan, Selain itu, beberapa bank baik pemerintah dan swasta pun juga berlomba memberdayakan masyarakat untuk menjadi agennya sebagai perpanjangan tangan untuk masuk ke berbagai daerah, seperti halnya yang dilakukan oleh BTPN, BRI dan Mandiri. Dari segi cost efficiency, tentu bank juga diuntungkan dengan tidak banyak merekrut pegawai tetap sebagai sales/marketing lapangan, namun bank memiliki jaringan agen yang tersebar di berbagai daerah melalui masyarakat setempat yang turut memberikan andil pendapatan bagi bank. Terkait dengan marketing, bukan hanya pegawai lapangan saja yang banyak dirumahkan, namun ribuan profesi telemarketing bank kini juga mulai dihilangkan. Selain pressure pekerjaan, telemarketing juga dinilai cukup mengganggu nasabah/calon nasabah dengan sambungan telponnya yang tidak kenal waktu.
Tantangan lain yang dihadapi oleh dunia perbankan saat ini adalah dengan hadirnya berbagai aplikasi Fintech. Bukan tidak mungkin Fintech akan mempengaruhi sektor perbankan, bahkan kini dampaknya sudah cukup terasa. Kembali hal ini disebabkan oleh para generasi Milenial dan generasi Y yang tidak segan membuat ulah. Lihat saja di mana sekarang mereka menyimpan sebagian uangnya dalam bentuk digital? Bukan hanya dalam bentuk elektronik money dengan menggunakan fasilitas kartu debitnya, tetapi menggunakan perangkat yang lebih digital melalui aplikasi yang terdapat dalam smartphone.
Beberapa aplikasi dompet digital (Fintech) seperti OVO, Go Pay, DANA, T Cash, dan Sakuku menjadi tempat berlabuh dan mengendapnya sebagian dana segar masyarakat zaman now, yang mungkin seharusnya tersimpan rapih di rekening bank dan menjadi sumber dana terhimpun.
Mengutip pemberitaan detikFinance (9/11/2017), Direktur Bisnis Menengah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Putrama Wahju Setiawan, mengatakan bahwa pihaknya tahun depan (2018) tidak akan menambah mesin ATM dan kantor cabang. Bila kita menyikapi dan menganalisis pernyataan ini, tentu menjadi fenomena menarik ketika branchless banking dan teknologi sudah mengambil alih sistem yang selama ini nyaman berjalan dan memberikan harapan indah kepada para sarjana pencari kerja di sektor perbankan.
Melihat dari berbagai fenomena dan permasalahan di atas, apakah saat ini masih relevan bila program studi atau jurusan Keuangan dan Perbankan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi tetap diharapkan menjadi primadona bagi para peserta didik? Sedangkan industri perbankan mulai mengurangi puluhan ribu pegawainya. Jawabnya tergantung dari seberapa siap perguruan tinggi tersebut mampu membaca peluang dan menyikapi perubahan yang terjadi.
Tahun 2020 bukan lagi perjalanan menuju era disruptif teknologi 4.0, tetapi kita benar-benar sudah sampai di tujuan itu (era 4.0) dan saatnya kita turun menjelajah ke dalam lingkungan digital. Kita harus menerima perubahan dan berdamai dengan pembaruan zaman, termasuk relevansinya di dalam dunia pendidikan. Para praktisi akademik dan lembaga pendidikan yang khususnya menaungi keilmuan “Keuangan dan Perbankan” di tingkat perguruan tinggi, perlu meng-up grade metode pembelajaran perbankan konvensional ke arah metode berbasis digital.
Bila tujuan akhir dari pembelajaran adalah untuk meningkatkan mutu lembaga dengan menghasilkan lulusan berkompeten di dunia kerja (keuangan dan perbankan), maka sudah seharusnya lembaga pendidikan tersebut mau memperbaiki dan menyesuaikan kurikulum terbarukan sesuai dengan perkembangan dunia keuangan dan perbankan saat ini, menyusun materi, teknik perkuliahan, serta meningkatkan sarana dan prasarana penunjang seperti ketersediaan perangkat praktik kerja berbasis teknologi digital pada laboratorium perbankan, sehingga diharapkan peserta didik yang lulus tidak hanya berkompeten dalam menghafal teori-teori mendasar seperti tugas dan peran seorang teller dan customer service (yang saat ini mulai ditinggalkan).
Peran praktisi di sektor keuangan dan perbankan harus ditingkatkan untuk dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada para peserta didik, sehingga mereka paham akan kondisi yang saat ini terjadi di lapangan. Untuk itu perlu adanya kerjasama intensif dengan menggandeng lembaga keuangan (perbankan) apabila lulusannya tetap ingin berfokus sebagai seorang bankir.
Lembaga pendidikan (perguruan tinggi) juga harus aktif mengikuti perkembangan dan fenomena yang terjadi di sektor tersebut (perbankan), artinya dengan mempelajari masalah yang dihadapi (melakukan riset) dan mengetahui strategi apa yang diambil oleh berbagai perusahaan (Bank) tersebut, maka perguruan tinggi dapat menyusun berbagai metode pembelajaran dan prasarana yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan pemenuhan SDM di dunia perbankan. Hal ini sejatinya selaras dengan pelaksanaan butir-butir Tridharma Perguruan Tinggi.
Artikel ini telah terbit di harian umum SUARA NTB, Kamis 16 Januari 2020.