Peran Kehumasan dalam Menangkal Paham Radikalisme di Kampus Pulau Seribu Masjid
Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM.
(Dosen dan Kabag. Humas STIE AMM)
Hari lahir Pancasila yang telah kita peringati pada hari Jumat (1/6) yang lalu seharusnya bisa menjadi self-reminder bagi para sivitas dan akademisi, bahwa Pancasila sebagai ideologi dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah bersifat final. Artinya ideologi Pancasila tidak dapat ditawar-tawar lagi ataupun dirubah kedalam bentuk apapun termasuk ideologi khilafah yang kian didengungkan.
Perlu disadari, bahwa paham radikalisme sejatinya sudah merumput di sejumlah lembaga pendidikan tinggi. Menurut kajian survey yang telah dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) Republik Indonesia pada tahun 2017 ditemukan bahwa sebanyak 39 persen mahasiswa yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia telah terpapar paham gerakan radikal. Kepala BIN Jenderal Polisi Budi Gunawan bahkan mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga perguruan tinggi yang menjadi basis penyebaran paham radikal. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Budi pada saat mengisi ceramah umum di Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Sabtu (28/4). Meskipun tidak disebutkan secara spesifik kampus mana saja yang dimaksud, namun keberadaan setiap perguruan tinggi perlu mendapatkan perhatian serius.
Sebagaimana pemberitaan yang menjadi trending topic minggu kemarin, pada hari Sabtu (2/6) Densus 88 dan Polda Riau telah berhasil menangkap tiga orang terduga teroris yang merupakan para alumnus Universitas Riau di Gedung Gelanggang Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Dari tangan ketiganya, polisi menyita empat unit bom rakitan dan menyita sejumlah serbuk-serbuk bahan pembuat bom dari gedung yang merupakan sekretariat bersama kelembagaan mahasiswa tersebut.
Kampus sudah seharusnya menjadi garda terdepan para kaum intelektual untuk terjun memerangi paham yang melenceng tersebut. Namun apa yang terjadi bila para kaum terdidik yang dimaksud malah salah dalam mengejawantahkan ilmu yang dipahaminya? Hal ini sebagaimana kasus yang terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberhentikan dosennya yang terindikasi mengikuti paham radikal dan gerakan organisasi terlarang Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa tahun lalu.
Selain UIN Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai kampus ber-Pancasila juga turut menangkal paham radikal termasuk gerakan ke-khilafahan HTI yang diklaim negara menjadi paham radikal bertolak belakang dengan Pancasila. Dalam pernyataannya di tahun 2017, Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono dengan tegas menyatakan bahwa UGM tidak mentolerir keberadaan dan dakwah HTI. Rektorat telah menyiapkan cara penangkalnya, termasuk monitoring menyeluruh, sejak mahasiswa masuk kampus hingga pengambil-alihan pengelolaan masjid kampus.
Bagaimana dengan kampus-kampus yang berada di Pulau Lombok? Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya di bulan September 2015 Ketua Forum Kerjasama Pencegahan Teroris (FKPT) NTB, H. Lalu Mudjitahid juga pernah menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua kampus besar ternama di kota Mataram dimana mahasiswa menjalankan ajaran agama di desanya dengan rutin dan sangat tradisional. Oleh karenanya, mereka sangat mudah terpengaruh terhadap paham baru yang dinilai lebih modern dengan mengatasnamakan jihad. Apalagi, di usianya itu mahasiswa sedang mencari aktualisasi diri.
Dari beberapa temuan pemberitaan dan kajian di atas, maka sudah seharusnya lembaga pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta harus lebih meningkatkan kewaspadaannya. Kita ketahui bersama bahwa pulau Lombok di kenal dengan sebutan “Pulau Seribu Masjid”, dimana berdasarkan temuan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB tahun 2017, sebanyak 93,62 persen penduduknya beragama Islam. Meskipun dalam hal ini bukan artinya terdapat kaitan antara pemeluk agama tertentu dengan terorisme, namun tindakan yang terjadi cenderung mengatasnamakan agama dan paham tertentu. Padahal apapun jenis paham radikal dan perbuatan melawan hukum lainnya yang mengarah kepada tindakan terorisme tidak pernah dibenarkan dan diajarkan oleh agama manapun.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fanatisme budaya dan sentimental agama di pulau Lombok bisa menjadi indikator yang perlu mendapat perhatian. Kewaspadaan (sense of awareness) dari bentuk fanatisme berlebih yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan publik milennial perlu menjadi perhatian khusus.
Selain dari homogenitas masyarakatnya, hal ini juga tidak terlepas dari peran media sosial yang memberikan arus deras informasi kepada para kaum milennial. Setidaknya berdasarkan data statistik tahun 2014, sebanyak 2,4 juta penduduk NTB telah menggunakan internet namun sayangnya hal tersebut tidak diimbangi dengan daya literasi masyarakatnya yang cenderung masih sangat rendah. Temuan terakhir berdasarkan kajian Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) NTB yaitu di tahun 2017 minat baca masyarakat NTB hanya sebesar 9,8 persen.
Dengan minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh kaum milennial tersebut dan dihujani dengan informasi yang tidak terfiltrasi, maka hal ini bisa menyebabkan timbulnya paham-paham radikal dan fanatisme sempit yang tidak sesuai dengan pedoman dan falsafah hidup bernegara.
Gerakan deradikalisasi kampus yang mulai gencar dilaksanakan di beberapa kota di Indonesia juga harus diupayakan oleh kampus-kampus yang berada di pulau Lombok. Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M. Nasir dalam arahan rapat koordinasi di bulan Mei yang lalu agar kampus dapat mengontrol kegiatan para dosen dan mahasiswanya.
Lembaga Hubungan Kemasyarakatan (Humas) yang terdapat di setiap perguruan tinggi di Pulau Lombok sudah seharusnya memulai gerakan sosialisasi dan menyusun program edukasi kepada para sivitas akademisinya. Hal ini merupakan bagian dari peran dan tupoksi humas sebagai lembaga komunikasi publik internal dan eksternal organisasinya.
Melalui Humas, perguruan tinggi dapat melakukan sosialisasi pedoman karakter yang juga berisi ajakan untuk menangkal paham radikalisme di kampus, selain itu momen penerimaan mahasiswa baru juga menjadi ajang seleksi yang cukup baik pada saat tes wawancara berlangsung. Peran Humas perguruan tinggi selain membentuk citra adalah untuk mempertahankan reputasi. Citra terbentuk melalui beberapa aspek identitas fisik dan nonfisik. Selain itu aspek kualitas, hasil mutu dan layanan serta aktivitas dan pola hubungan terhadap publik juga menjadi hal yang harus terus diperhatikan.
Kampus tentu tidak ingin mendapat “cap negatif” dari khalayak publik dengan adanya sivitas yang terindikasi paham radikal. Selain menurunkan kredibilitas di mata publik tentu hal ini akan menjadi kerugian tersendiri bila sudah berurusan dengan para stakeholder.
Untuk menghindari hal ini maka Humas harus melakukan tindakan preventif secara aktif. Tidak boleh melakukan pembiaran berlarut-larut apalagi sudah terindikasi adanya hal-hal kegiatan kemahasiswaan, organisasi dan akademik yang dinilai menyimpang. Pengawasan, komunikasi dan koordinasi dengan para pejabat internal terkait perlu dilakukan sebagai langkah dalam pembuatan kebijakan dan pengambil keputusan.
Komunikasi dan koordinasi sebaiknya bukan hanya dengan pejabat internal perguruan tinggi saja, namun peran pemerintah dan keterlibatan hubungan dengan media juga harus diperhatikan. Sebagai langkah awal, Humas dapat menggelar sosialisasi dengan melibatkan pihak kepolisian setempat, aparat militer, serta meningkatkan peran organisasi Resimen Mahasiswa. Selain itu ajakan-ajakan dalam menolak paham radikalisasi juga dapat disampaikan melalui website kampus, akun sosial media, buletin kampus, dan berbagai program lainnya seperti mengadakan kompetisi wawasan nusantara dan sebagainya.
Sebagai lembaga jasa yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka setiap aktivitas yang dilakukan di dalam lingkungan akademik haruslah dijaga agar tetap harmonis dan kondusif. Mahasiswa akan melihat para pembimbingnya (dosen dan pejabat internal) sebagai role model. Selain mahasiswa, khalayak publik juga akan menilai sejauh mana kampus dapat memberikan kontribusi positif kepada para stakehoder-nya.
Namun dibalik itu semua, apakah peran dan fungsi Humas sudah benar-benar diterapkan dan dijalankan oleh setiap kampus yang berada di pulau Lombok? Semuanya kembali kepada kebijakan manajemen perguruan tinggi yang telah disusun masing-masing. Setidaknya melalui APTISI VIII dan Koordinasi Humas PTS NTB yang telah dibentuk tahun lalu, langkah kongkrit tersebut bisa diterapkan dan menjadi masukan kepada setiap kampus yang belum menjalankan peran Humas Perguruan Tinggi sebagaimana tupoksinya.