Menyikapi Upaya Pemerataan Kemenangan Pasca Bulan Merdeka

Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM. (Dosen & Kabag. Humas STIE AMM Mataram)

 

Memasuki bulan September 2017 ini, kita mulai melihat sang kaka merah putih yang mulai diturunkan dari tinggi singgasananya. Di pemukiman penduduk, pekantoran, dan juga di beberapa jalan, kibaran dwi warna perlahan mulai ditinggalkan. Sejatinya, meskipun bendera negara kita mulai dilipat kembali namun jiwa nasionalisme tetap terpatri di sanubari suci kita yang paling dalam.

Kita menyadari bahwa di bulan merdeka yang baru saja kita lewati, Indonesia mengalami banyak pergejolakan. Isu internal seperti kenaikan tarif dasar listrik masih saja menjadi keluhan yang seolah tidak pernah habis dan menjadi senjata massal ketidakpercayaan terhadap peran pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Selain itu isu mengenai pembubaran ormas tertentu cenderung dikaitkan dengan sikap diktator dan bentuk pemerintahan yang otoriter, pengalihan dana haji kepada proyek infrastruktur,  harga garam yang meningkat, hingga tertangkapnya jaringan Saracen yang merupakan jaringan terbesar penebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang memiki lebih dari 800.000 akun jaringan lain di bawahnya.

Sebenarnya kekurangan akan pemahaman konseptual masyarakatlah yang menyebabkan mereka enggan menerima berbagai kebijakan tersebut. Kita pun juga tidak bisa sepenuhnya untuk menyalahkan mereka yang cenderung mendapatkan asupan persepsi pihak media oposisi. Hal ini merupakan implikasi dari berkembangnya arus teknologi informasi yang sudah tidak terbendung. Sosisalisasi dan filtrasi informasi sangat dibutuhkan oleh negara kita yang majemuk. Untuk itulah peran dari badan pers nasional sangat dibutuhkan. Selain itu pemerintah pun juga telah berupaya memberikan informasi kepada masyarakat melalui Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.

Kita tidak memungkiri bahwa media kini (termasuk stasiun televisi swasta nasional) telah terpecah dan dikuasai oleh pemberitaan yang cenderung menoleh kepada “keberpihkan”. Lebih jauh, bahkan KPI sendiri pernah mengeluarkan teguran pihak pengelola salah satu stasiun televisi swasta yang kerap berkampanye dengan lagu mars partai tertentu.

Mari kita kembali menelaah, mengenai keluhan klasik kenaikan harga listrik dan BBM. Pada kasus ini tersirat ketidaktahuan masyarakat akan strategi pemerintah menerapkan subsidi silang. Bila kita mengkaji, maka bukan harga listriknya yang naik namun subsidinya yang dicabut. Sebenarnya penyesuaian tarif dasar listrik hanya diberlakukan untuk pelanggan rumah tangga mampu berdaya 900 VA ke atas, sedangkan bagi rumah tangga tidak mampu pelanggan 450 VA dan 900 VA tetap mendapat subsidi dan tarif listriknya tidak mengalami perubahan hanya saja mereka harus melapor terlebih dahulu kepada PLN disertai dengan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dikeluarkan oleh Kelurahan setempat.

Kebijakan ini diterapkan sebagai upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat hingga wilayah Indonesia timur. Bisa kita bayangkan selama ini wilayah Indonesia barat dan sekitarnya (sebagian wilayah tengah) menikmati subsidi fasilitas listrik negara, namun bagaimana kondisinya di wilayah timur? Nyatanya hampir tidak tersentuh dengan listrik bila tidak didorong dengan BBM. Untuk itu pemerintah melakukan subsidi silang bagi masyarakat yang tidak mampu.

Berangkat dari upaya tersebut, kini kita bisa melihat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk Indonesia bagian timur seperti di Naekake Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelumnya kebanyakan penduduk harus mengeluarkan uang sebesar 75 ribu rupiah untuk membeli satu jerigen minyak tanah untuk penerangan rumahnya, namun sekarang mereka hanya perlu membayar 25 ribu rupiah untuk membeli pulsa listrik selama satu bulan, bahkan bila berhemat pulsa listrik tersebut bisa dipakai hingga tiga bulan.

Selain itu kebijakan program Papua Satu Harga BBM Nasional kini sudah dirasakan masyarakat Papua. Kabupaten Puncak yang sebelumnya memiliki kisaran harga BBM Rp 50.000 – Rp 100.000, kini menjadi Rp 6.500 termasuk di 13 Kabupaten lain yang memiliki harga BBM tertinggi seperti di Mamberamo, Intan Jaya, Paniai dan Yahukimo.

Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan di tanah Papua ini, pada tangal 15 Agustus 2017 yang lalu diketahui bahwa Tentara Pembebasan Nasional – Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) menyerahkan diri kepada NKRI melalui Kabinda Papua dan Tim Maleo, Kodam XVII Cenderawasih di bukit Wadafi Kampung Mamarimp, Distrik Wadamomi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Kapendam XVII/ Cendrawasih Letkol Inf. Muhammad Aidi, yang mengakui bahwa mereka yang tergabung dalam TPN-OPM itu malah hidup serba kekurangan (detiknews).

Berdasarkan pemaparan di atas, bukankah semua langkah yang diambil pemerintah adalah untuk mensejahterakan warga negaranya? Pemerintah pun tentunya dalam mengambil segala kebijakan tersebut mengacu kepada amalan sila ke-lima Pancasila yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Namun daripada upaya mensejahterakan masyarakat yang tengah dilakukan oleh pemerintah, masih saja ada pihak tertentu yang menentang kebijakan yang telah dijalankan dengan berbagai alasannya yang kontra.

Kita juga perhatikan isu di awal bulan agustus kemarin mengenai kebutuhan akan garam yang tidak luput menjadi kritikan pedas kepada pemerintah karena dinilai tidak pro-rakyat. Rakyat beranggapan hamparan lautan kita yang terbentang luas yang berpotensi memproduksi garam ratusan ribu ton pertahun tidak dimaksimalkan. Yang akhirnya berujung kepada impor dan kenaikan harga garam. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) & Kemendag,  80% atau 3.000.000 ton dari total kebutuhan garam Indonesia per tahun digunakan untuk sektor industri seperti; Makanan dan minuman, petrokimia, kertas, tekstil, sabun dan deterjen, Penyamakan dan lain-lain, bahkan sektor pertambangan (pengeboran minyak) pun perlu sekitar 50 ribu ton garam per tahun, dan untuk konsumsi pertahun dibutuhkan garam sebanyak 750.000 ton

Bagaimana dengan hasil produksi garam dalam negeri? Bila kita kembali mereview, kita dapat mengingat bahwa petani garam kita pada tahun 2016 telah mengalami gagal panen akibat dampak musim kemarau basah akibat badai La Nina. Hal inilah yang mengakibatkan tahun lalu petani garam hanya mampu memproduksi garam sekitar 144 ribu ton dan sekitar 30 ribu ton-nya disumbang oleh petani garam di Jawa Barat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kemendag, diketahui stok garam nasional hingga awal tahun (Januari 2017) adalah sebanyak 112.671 ton. Bila saja masyarakat mau membuka pikiran dan memahami situasi yang terjadi tentu langkah kebijakan pemerintah dalam mengimpor dan menaikkan harga garam adalah wajar untuk menyelamatkan stok garam nasional.

Hal ini seharusnya bisa menjadi referensi tersendiri bagi para praktisi dan akademisi yang tentunya paham akan keterkaitan hukum ekonomi dan juga prinsipnya untuk dapat menjadi bahan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat awam. Tapi nampaknya alih-alih membantu dan mendukung pemerintah, justru sebagian intelektualitas para akademisi malah digunakan untuk menghimpun kekuatan guna mendoktrin “cacat” pemerintahan. Kita juga dikejutkan ketika beredar video himpunan mahasiswa yang berikrar sumpah setia kepada negara khilafah Indonesia yang menjadi viral di media sosial. Padahal sejak jaman kemerdekaan dahulu, para pelopor kita mengikrarkan sistem demokrasi Pancasila di negara Indonesia dan hal ini pun sudah dinyatakan final.

Ketika pemerintah berupaya menjaga demokrasi pancasila dengan membubarkan ormas seperti kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maka seketika itu sebagian oposisi berteriak lantang dengan menyatakan pemerintahan saat ini (Jokowi) adalah rezim diktator. Padahal sejatinya hal ini sudah melalui tahapan kajian yang mendalam. Bukankah ormas Hizbut Tahrir juga sudah lama dibubarkan di lebih dari 13 negara Islam seperti Mesir, Yordania, Pakistan, Suriah, Libya, Uzbekistan, Turki, Bangladesh, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Malaysia dan bahkan juga di Arab Saudi?

Lantas bagaimana dengan kelompok jaringan Saracen yang sudah lama menyebar berita hoax dan ujaran kebencian terhadap pemerintah sejak tahun 2014 yang lalu? Akankah masyarakat yang terprovokasi kini akan menyadari setiap kejanggalan dan rekayasa informasi yang diberikannya? Atau tetap menutup mata dan berteriak lantang mengkritik setiap kebijakan pemerintah yang dianggapnya kurang menguntungkan?

Setidaknya dari sekian banyak isu yang diangkat di bulan merdeka lalu, bangsa Indonesia kembali menegaskan kedaulatannya dari pihak asing. Beberapa hari terakhir ini pemberitaan mengenai Divestasi saham PT Freeport sebesar 51% telah berhasil diupayakan oleh pemerintahan Jokowi. Selama 50 tahun pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya Freeport dikuasai oleh asing, dengan besar saham yang bisa kita pegang hanya mencapai 9,6% saja. Hal ini mengindikasikan adanya kemajuan dan kedaulatan kita di bidang ekonomi. Selain itu dari arena olah raga kabar kemenangan Indonesia diluar negeripun santer terdengar di penjuru dunia yang diwarnai dengan gelar Juara Dunia Bulu Tangkis 2017 yang diperoleh Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di Skotlandia.

Peringatan bulan kemerdekaan yang lalu hendaknya disikapi dengan bijak oleh seluruh warga negara Indonesia. Mirisnya, ketika dunia kini tengah mengagumi kemenangan besar kita di beberapa sektor seperti majunya tingkat perekonomian dan prestasi olahraga yang membanggakan, negara kita seperti tengah berperang dengan warganya sendiri. Kemerdekaan yang kita raih tidak disertai dengan kemenangan yang hakiki. Kita bisa saja merdeka dari belenggu penjajahan negara asing, namun invasi internal yang merongrong sendi-sendi bernegara malah menjadi batu sandungan dalam perayaan kemerdekaan itu sendiri.

Padahal setidaknya, di setiap hari yang kita jalankan dalam lima waktu berbeda, kita selalu diingatkan untuk meraih kemenangan “Hayya Alal Falah”. Namun bagaimana kita bisa mencapai kemenangan bangsa, bila kita tidak bersatu dalam membangun kekuatan. Untuk itu kita perlu menghargai upaya pemerintah dalam membangun kesejahteraan rakyatnya. Sebab siapapun Pemerintahnya, selama pemerintahan tersebut adalah sah secara konstituen, berdaulat dan tidak melanggar undang-undang negara, maka sudah sepatutnya setiap warga menjunjung tinggi pemerintah dan simbol negaranya.

Dalam memberikan kritik, cermatilah terlebih dahulu apa yang menjadi pokok permasalahannya, pertimbangkan baik dan buruknya suatu program yang dijalankan, serta ketahui konsekuensi apa yang akan diakibatkan dalam penyampaian pendapat tersebut. Hal ini tentunya untuk menghindari kritisi yang berlebihan. Tanpa mengetahui pokok permasalahan dan tidak disertai dengan solusi yang diberikan, kritik tersebut ujungnya hanya akan berakibat pada ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Selain daripada itu alangkah baiknya bila kita lebih bijak menghadapi arus informasi yang belum jelas dan tidak valid kebenarannya. Karena saat ini diakui atau tidak, perang terbesar yang dihadapi warga negara kita dan yang telah merambah ke generasi milenial adalah arus informasi hoax. Akibatnya tentu akan merusak kepercayaan para penerus bangsa terhadap potensi kemampuan penyelenggaraan negara untuk menjadikan tempat tanah dan airnya sumber kesejahteraan hidup warga negaranya.

Sebagai warga negara Indonesia sudah seharusnya kita saling menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Mari bersama-sama kita menyikapi 72 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia dengan upaya meraih kemenangan di berbagai sektor tanpa lagi perlu memandang perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Karena sejatinya Indonesia adalah satu, NKRI harga mati!

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter