Indonesia sebagai tuan rumah ASEAN University Youth Summit (AUYS) 2016 sukses menggelar acara tersebut yang berlangsung di Sumbawa Besar bulan Januari lalu. Acara yang juga diikuti oleh para dosen pendamping dari universitas peserta yang mewakili negaranya tersebut telah menghasilkan sejumlah point yang diharapkan dapat segera terwujud diantaranya sebagai sarana penguatan networking (jaringan) dan menjalin kerjasama riset. Oleh karenanya Forum Dosen ASEAN yang akan dibentuk tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para tenaga pengajar di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
Berangkat dari hal tersebut maka sudah seharusnya mutu dan kompetensi dosen sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi juga perlu diperhatikan. Hal ini dinilai penting, sebab citra lembaga perguruan tinggi dalam menghasilkan output lulusan yang berkualitas dan berkompetensi juga ditentukan melalui proses pendidikan dan hasil pengalaman belajar mahasiswanya selama mengikuti perkuliahan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Pasal 3 ayat 1 butir c, menerangkan bahwa Standar Nasional Pendidikan Tinggi bertujuan untuk mendorong agar perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum NKRI mencapai mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan.
Salah satu aspek untuk mencapai mutu pembelajaran tersebut adalah kompetensi dosen. Apakah kompetensi dosen yang dimiliki oleh perguruan tinggi sudah cukup memadai dan sesuai dengan Standar Dosen dan Tenaga Kependidikan seperti yang tertuang di dalam Permendikbud RI No.49 Tahun 2014? Bagaimana kebijakan perguruan tinggi dalam merekrut dosen praktisi dan bukan hanya dosen yang melulu bersifat teoritis akademisi? Tidak salah memang, terlebih apabila gelar dan kapasitas kualifikasi akademiknya sesuai dengan apa yang telah diatur pada Pasal 26.
Namun pada era kompetensi MEA yang semakin ketat ini ada baiknya Perguruan Tinggi benar-benar memperhatikan kompetensi dosen yang dimiliki oleh lembaganya. Salah satu contohnya adalah dalam merekrut calon dosen, maka perguruan tinggi seyogyanya juga turut memperhatikan pengalaman kerja mereka sebelumnya. Apakah calon dosen tersebut pernah bekerja atau bahkan masih bekerja di suatu perusahaan atau instansi tertentu? Apakah sebagai calon dosen juga sebagai pengusaha atau memiliki usaha tertentu? kemudian peran dan fungsi apa saja yang pernah atau sedang mereka jalankan dalam pekerjaan ataupun usahanya tersebut?
Hal ini tentu menjadi perhatian menarik, karena ketika mengajar nanti maka dosen tersebut juga sudah memiliki pengalaman di bidangnya sesuai dengan mata kuliah atau program pendidikan yang dibimbingnya. Sehingga apa yang disampaikan oleh para dosen di kelas sebagai bahan ajar yang telah disusun berdasarkan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang ditetapkan tidak lagi hanya bersifat teoritis dan “pengandaian” namun aplikasinya dapat dikemukakan secara riil dan praktis sebagai refrensi diskusi dan solusi pemecahan masalah.
Sebagai contoh sederhana, dosen teoritis yang mengampu mata kuliah manajemen bisnis ataupun manajemen pemasaran tentu seringkali dalam memberikan pandangan mengajarnya di kelas hanya berdasarkan konseptual yang terdapat dalam buku teks tersebut. Berbeda dengan dosen praktisi yang telah memiliki usaha sendiri atau sebagai seorang enterpreneur di luar pekerjaan utamanya sebagai dosen, tentu dalam penyampaiannya akan lebih banyak studi kasus yang bersifat riil dalam kegiatan bisnis dan pemasaran yang terjadi di lapangan. Karena teori bisnis dan pemasaran yang terdapat dalam buku teks dapat dikembangkan lebih jauh melalui serangkaian pengalaman yang terjadi dalam kegiatan usahanya.
Dengan pola seperti ini maka kegiatan belajar mengajar akan menjadi lebih dinamis karena disertai dengan pemikiran, pendapat dan ide-ide segar. Hal seperti inilah yang sejatinya dapat memacu inovasi dan kreativitas para peserta didik, jadi mahasiswa tidak hanya melulu dituntut untuk menghafal dan mengetahui teorinya namun juga dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Hal ini sejalan dengan hasil diskusi penting AUYS 2016, dimana salah satu pointnya dijelaskan bahwa mahasiswa lebih suka bekerja daripada mengingat.
Dengan demikian ketika perguruan tinggi memiliki tenaga pengajar yang berkualitas dan berkompetensi maka diharapkan perguruan tinggi dapat bersaing dalam meningkatkan mutu pendidikan, bukan hanya pada skala nasional saja tetapi keunggulan kompetensi yang dimiliki juga dapat diperlihatkan di ajang antar negara seperti yang nantinya terdapat di dalam Forum Dosen ASEAN. Semoga.
Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM (Dosen & Kabag Humas STIE AMM Mataram)