Menilik Gejolak May Day dan Hardiknas Sebagai Upaya Pemberdayaan Agen Perubahan di NTB

 

Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM. (Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi AMM Mataram)

 

Tidak dipungkiri bahwa Pada Bulan Mei 2019 ini, bangsa Indonesia tengah memperingati sekaligus menyambut beberapa hari penting di kalender nasional. Setidaknya terdapat dua hari peringatan yang sangat monumental yaitu peringatan Hari Buruh (May Day) (1/5) dan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) (2/5). Selain itu, tiga hari keagamaan yang meliputi awal mula bulan puasa Ramadhan bagi umat Islam (6/5), hari raya Waisak bagi umat Buddha (19/5), serta peringatan kenaikan Isa Almasih bagi umat Nasrani (30/5). Bagi mereka yang berprofesi di bidang medis (dokter) tentu bulan ini juga menjadi bulan peringatan yang cukup penting, mengingat pada tanggal 20 Mei 2019 diperingati sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia. Selain itu, bangsa Indonesia juga tengah menantikan hasil final rekapitulasi penghitungan suara pada kontestasi pemilihan presiden tahun ini yang akan jatuh pada tanggal 22 Mei 2019.

Ilustrasi – Demonstrasi peringatan Hari Buruh (May Day)

Dari sekian banyak hari peringatan dan perayaan yang telah disebutkan di atas, May Day dan Hardiknas menjadi hari peringatan yang berdampingan, serta memiliki korelasi fenomena yang cukup menarik untuk diperhatikan, bukan hanya oleh pelaku pendidikan namun juga oleh masyarakat umum. Untuk kita ketahui, bahwa secara garis besar beberapa tuntutan yang kerap dilontarkan kepada pemerintah oleh para buruh dalam orasinya antara lain meliputi; peningkatan pendapatan, pengangkatan status kepegawaian, pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya, hingga penghapusan sistem outsourcing.

Mengapa ke-empat hal di atas selalu digaungkan oleh para demonstran? Jawabannya adalah karena adanya hasrat oleh setiap individu tersebut untuk memenuhi kepuasannya (yang bagi mereka suilit untuk dipenuhi).

Kepuasan yang dimaksud meliputi kebutuhan dan “tambahan keinginan” sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Maslow dalam skema piramidanya yang dimulai dari tingkatan kebutuhan paling mendasar (biological needs) berupa sandang, pangan, hingga seks; kebutuhan keamanan dan perlindungan (safety and security need); kepemilikan dan penerimaan (belongingness need), hingga tingkatan “kebutuhan” tertinggi yaitu hasrat untuk diakui (esteem need), dan mencapai puncaknya berupa kepuasan akan aktualisasi diri (self-actualization need).

Bagaimana dengan keadaan sosial-ekonomi masyarakat di Provinsi NTB secara umum? Berdasarkan data yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB menempati peringkat ke 29 dari 34 Provinsi di Indonesia. Meski masih tergolong rendah, IPM NTB masuk ke dalam 10 besar Provinsi yang mengalami pertumbuhan tercepat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu: IPM tahun 2016 (65,81); IPM 2017 (66,58); dan 2018 (67,30). Adapun nilai dari IPM tersebut di ambil dari empat komponen yang meliputi: umur harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.

Artinya, diakui bahwa peningkatan nilai IPM tersebut juga merupakan salah satu bukti nyata perhatian dan kinerja pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan melalui tiga sektor utama yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Ilustrasi – Pengangguran terdidik yang sedang mencari pekerjaan.

Meskipun tingkat harapan lama sekolah meningkat, namun masih banyak pekerjaan rumah lainnya yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah kualitas lulusan dari para akademisi tersebut, dimana tingkat angka pengangguran terdidik relatif masih tinggi. Tahun 2018 tercatat bahwa jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di NTB sebanyak 83.210 orang (telah mengalami penurunan sebanyak 14.014 orang dibandingkan tahun sebelumnya). TPT per Agustus 2018 sebesar 3,72 persen, namun data ini belum termasuk pencari kerja di Kabupaten Lombok Utara (hal ini disebabkan survei belum dapat dilaksanakan akibat bencana gempa bulan Agustus 2018). Jika dilihat dari tingkat pendidikan, TPT bagi lulusan diploma berada pada urutan paling tinggi sebesar 7,55 persen. Kemudian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 5,83 persen.

Setelah pemaparan fenomena dan penjelasan umum di atas, kita dapat mengetahui bahwa setidaknya dunia pendidikan kita perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius. Tidak hanya pada skala lembaga pendidikan tingkat menengah, namun juga lembaga pendidikan tinggi. Peserta didik lembaga pendidikan tinggi sejatinya merupakan para agen perubahan (agent of change), namun sejauh mana upaya pemberdayaan yang dilakukan terhadap para agen ini?

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah dicanangkan pemerintah tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM. Seperti yang tertuang pada RPJMN 2010-2014 yang memliki capaian untuk “memantapkan penataan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek, memperkuat daya saing perekonomian”; serta RPJMN 2015-2019 yang tengah kita jalani saat ini yaitu memiliki capaian untuk “memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta berkemampuan iptek.”

Terdapat kendala pada lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi di NTB, yaitu bagaimana upaya lembaga dalam meningkatkan kualitas output sehingga para lulusannya dapat bersaing di dunia kerja dan juga memiliki kemampuan untuk membuka lapangan kerja melalui kegiatan wirausaha?

Kita sadari bahwa penyakit lama di berbagai lembaga pendidikan tinggi adalah sebagai pabrik pencetak ijazah dan aneka sertifikat. Namun yang menjadi titik poin dalam hal ini adalah bagaimana perguruan tinggi memiliki quality control bukan hanya terhadap lulusannya sebagai output, tetapi juga pada tahapan input yang dimulai dari perekrutan hingga rangkaian proses kegiatan akademik di dalamnya.

Apakah kegiatan pada unit perencanaan karir sudah menjalankan bimbingan kepada peserta didik (mahasiswa) dengan baik? apakah lembaga telah memiliki jaringan kerjasama dengan berbagai industri agar lulusannya bisa ditempatkan pada saat rekrutmen tenaga kerja nantinya? Apakah tracer study sudah berjalan dengan monitoring dan evaluasi yang terarah? Bagaimana dengan peran unit kewirausahaan? Jenis pelatihan seperti apa yang telah diberikan? Bimbingan, bantuan, serta fasilitas apa yang telah disediakan?

Terlepas dari upaya perguruan tinggi dalam memaksimalkan kinerja unit yang ada di lembaganya, faktor terpenting lainnya adalah tingkat partisipasi aktif dan kemauan mahasiswanya untuk belajar. Kita juga tidak bisa menutup mata kalau terdapat para agen perubahan tersebut yang datang ke kampus hanya sebagai penggugur kewajiban. Entah mereka mengikuti kegiatan akademik dengan baik atau tidak, atau apakah mereka memahami materi perkuliahan yang diajarkan atau tidak, atau manfaat apa yang dapat diambilnya dari setiap program kegiatan yang diikuti? Apapun itu, setidaknya mereka akan mendapat gelar akademik dan ijazah di akhir semester setelah mereka melalui semua tahapan pembelajaran dan seremonial kelulusan.

Sehingga agak konyol rasanya, ketika kita melihat para mahasiswa pendemo yang menuntut berbagai hal perbaikan pendidikan, berteriak menyalahkan suatu pihak tertentu karena keadaannya, namun mereka tidak memiliki prestasi membanggakan baik akademik maupun non-akademik, dan tidak juga memiliki kemauan dan upaya untuk berubah selain menuntut orang lain. Karakter yang semakin mengental seperti ini bila terus dibiarkan akan menjadi budaya. Apabila dibiarkan, tentu dapat berimbas pada generasi penerus berikutnya.

Mahasiswa yang sedang berorasi saat Hardiknas (2/5). (Foto: Liputan6.com)

Perlu di garis bawahi bahwa pernyataan di atas tidaklah untuk semua mahasiswa. Setidaknya, permasalahan di atas bisa menjadi salah satu poin pembelajaran mental dan karakter peserta didik di perguruan tinggi, untuk tidak hanya bisa mengkritik dan meluapkan ujaran kebencian, tetapi mereka juga harus memiliki pondasi pengetahuan yang kuat mengenai suatu permasalahan, memiliki data akurat, dan mampu memberikan solusi yang bersifat akademis dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga hal tersebut dapat menghindari kita kepada situasi yang memperkeruh kodusifitas bermasyarakat dan bernegara.

Selama ini kuantitas input dan output peserta didik seolah menjadi prioritas utama, karena memang sampai saat ini masih banyak perguruan tinggi yang mengandalkan pemasukan pemasukan operasional yang berasal dari tuition fee mahasiswa. Berbagai alasan dan kendala finansial telah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap lembaga pendidikan. Padahal untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, tentu berbagai kegiatan dan hasil evaluasi belajar harus sesuai dengan standar kelayakan mutu.

Bagaikan dua sisi koin, pilihan pun hanya terbagi menjadi; “bergerak untuk maju” atau “mati dalam kenyamanan semu”, sehingga perlu untuk dicarikan solusi dari setiap permasalahan yang kian kompleks ini.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kerjasama sponsorship dengan para stakeholders, baik dari pihak pemerintah, industri (swasta), masyarakat, dan jaringan internasional. Kerjasama dengan membangun jaringan dapat menjadi solusi jalan keluar dari permasalahan tersebut. Memang implementasinya tidak akan mudah, tetapi sangat mungkin untuk dapat direalisasikan.

Bila lembaga pendidikan enggan berbenah dan sudah terpaku nyaman dengan keadaannya saat ini, maka tidak perlu heran bila peserta didik hanya mengejar nilai mata kuliah (entah dengan cara apapun) demi syarat kelulusan dan memperoleh ijazah dengan membawa keterampilan dan pengetahuan yang minim ke dunia kompetisi kerja.

Lantas fenomena jumlah pengangguran terdidik khususnya di NTB menjadi salah siapa? Apakah kita akan terus-menerus latah untuk berteriak lantang, bahwa ini semua adalah “salah pemerintah? Salah presiden?” atau salah siapa? Karena di lain pihak, industri pun enggan untuk mempekerjakan para SDM yang berkompetensi rendah. Selain itu, pemerintah juga telah berupaya untuk menciptakan lapangan kerja melalui berbagai program kewirausahaan dan meningkatkan pertumbuhan jumlah pengusaha baru yang bertujuan untuk menyerap permintaan lapangan kerja.

Kepada generasi penerus, generasi milenial, para akademisi, dan siapapun kita saat ini, mari hentikan budaya untuk saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Sudah saatnya kita berbenah di bulan peringatan buruh dan pendidikan nasional ini. Jadikan bulan baik yang penuh perayaan ini sebagai tonggak harapan kita bersama, agar setiap tahunnya ribuan orang pengangguran terdidik di NTB akan terus berkurang seiring dengan majunya lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi sebagai rumah para agen perubahan.

 

*) Tulisan ini telah diterbitkan di harian Suara NTB 6 Mei 2019

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter