Desain Kepanikan Ekonomi Masyarakat terhadap Dampak Fluktuasi Kurs Dollar AS

 

Ilustrasi – Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika.

Hampir sepekan terakhir ini masyarakat dibuat panik akan informasi yang menyatakan tentang anjloknya nilai mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yang rata-rata menyentuh hingga Rp 15.000,-. Dikatakan rata-rata karena berdasarkan pantauan di beberapa kantor money changer, kurs beli dollar AS berkisar antara Rp 14.830 s.d Rp 14.995. Sedangakan untuk kurs jualnya berkisar antara Rp 15.000 s.d 15.030. Level kepanikan tertinggi adalah dengan kekhawatiran akan pemberitaan terjadinya pengulangan krisis ekonomi seperti di tahun 1998, dimana nilai rupiah terhadap dollar saat itu mencapai Rp 16.800,-.

Lantas bagaimana masyarakat harus menyikapi hal ini, khususnya yang berada di wilayah Lombok-NTB? Apakah daya beli masyarakat akan ikut anjlok? Siapa yang bertanggung jawab atas melemahnya nilai tukar rupiah? Bagaimana kita bisa berperan untuk menguatkan kembali dan menstabilkan nilai rupiah?

Sebenarnya Indonesia hanya sedikit terkena dampak dari krisis ekonomi saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa pelemahan rupiah adalah rentetan dari krisis yang di alami oleh negara Argentina, Turki dan Venezuela. Diakui atau tidak, jelas dampak kenaikan dollar menjadi isu aji mumpung yang sangat mantap digulirkan kepada pemerintah. Para orang tua dan kaum milenial yang kurang memahami persoalan perekenomian mikro dan makro menjadi sasaran empuk untuk mengkonsumsi berita yang telah didesain secara mengerikan seperti ini. Efeknya jelas, kepanikan masyarakat dan mosi tidak percaya kepada kebijakan pemerintah.

Lalu sejauh mana peran ekonom dan para akademisi dalam hal mengedukasi masyarakat? Tentu dalam hal ini diperlukan netralitas dan pandangan objektif untuk mensosialisasikan dampak fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar. Kebanyakan dari masyarakat tidak mengetahui dari mana asal-muasalnya nilai rupiah bisa terus melemah? Apa yang menjadi penyebabnya utamanya? Menjadi suatu kebiasaan bahwa cara yang paling mudah untuk menanggapinya adalah dengan menyalahkan kebijakan pemerintah dan memberikan kritik tanpa solusi. Sejauh itukah kesalahan pemerintah? Mari kita sedikit membahasnya dengan cara yang sederhana.

Pertanyaan dasar yang sering diajukan adalah, mengapa kita butuh dollar? Sederhananya adalah untuk membayar hutang, baik BUMN, pemerintah dan juga swasta. Selain itu dollar juga dibutuhkan untuk membayar impor bahan baku industri, dan BBM. Dollar Amrerika menjadi standar internasional dalam transaksi perdagangan di berbagai negara sehingga keberadaannya menjadi fasilitator pembayaran (convertible currency). Selain itu dari segi investasi, mata uang dollar juga diperdagangkan di pasar uang.

Yang menjadi permasalahan utamanya adalah bahwa sampai saat ini kita masih kesulitan untuk menghasilkan dollar. Mengapa? Terdapat beberapa alasan, salah satunya adalah nilai impor kita yang relatif lebih besar daripada ekspor. Hal ini menjadikan permintaan dollar tinggi. Secara mikro ekonomi tentu kita memahami bahwa semakin tingginya permintaan maka semakin tinggi pula harga yang diberikan. Sekarang kita paham, inilah salah satu penyebab nilai inflasi yang terjadi (kenaikan harga karena tingginya permintaan).

Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi penguatan dan pelemahan nilai rupiah, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang paling mudah dipahami adalah dengan melihat fundamental ekonomi Indonesia melalui Produk Domestik Bruto (PDB). PDB sendiri adalah nilai pasar semua produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh negara pada periode tertentu, sehingga menjadikan PDB sebagai alat untuk menghitung pendapatan nasional. Di dalam PDB terdapat komponen nilai konsumsi, Investasi, pengeluaran pemerintah serta ekspor dan impor. Dari masa pemerintahan saat ini (Jokowi), diketahui PDB meningkat dari 5,02 menjadi 5,07 di akhir tahun 2017. Artinya tingkat perekonomian kita melalui pendapatan nasional relatif baik.

Artinya apakah kita masih bisa memiliki harapan agar rupiah kembali menguat? Jawabannya adalah, “Ya! Sangat bisa.” Nilai PDB akan semakin tinggi seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini tentu menstimulus para investor untuk beramai-ramai menanamkan modalnya. Semakin banyak investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) yang masuk, maka semakin besar peluang kita untuk meminta mereka mengkonversikan mata uangnya ke dalam rupiah sehingga nilai mata uang rupiah perlahan akan menguat.

Ilustrasi – Pembangunan infrastruktur sebagai langkah strategi percepatan pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu langkah yang diambil pemerintah berhutang untuk kepentingan membangun infrastruktur adalah keputusan yang sangat tepat dan sudah seharusnya mendapatkan apresiasi dan dukungan warga negaranya. Bayangkan, dengan pembangunan infrastruktur seperti tol, pelabuhan dan bandara, maka akses transportasi dan distribusi semakin mudah dan meningkatkan efisiensi biaya (cost). Harapan kedepannya tentu saja dengan meningkatnya PDB maka akan menguatkan mata uang rupiah itu sendiri.

Kemudian mengapa pemerintahan sebelumnya (era SBY) nilai rupiah terhadap dollar bisa bertahan di Rp8.000 s.d. Rp10.000,-? Sederhananya, keputusan berhutang yang diambil adalah untuk pemenuhan subsidi dan impor secara besar-besaran. Sekilas memang hal ini menyenangkan masyarakat, di mana harga BBM relatif murah karena adanya subsidi tersebut. Namun kelamaan hal ini mengakibatkan current account defisit yang pada saat kurs dollar menguat, maka inflasi menjadi tinggi karena harga-harga ikut naik. Terlepas dari pro dan kontra mengenai langkah dan kebijakan tersebut, perlu digaris bawahi bahwa ini adalah upaya dan niat baik pemerintah sebelumnya untuk mensiasati perekonomian negara meskipun akhirnya banyak proyek dan infrastruktur mangkrak yang akhirnya perlahan dapat diselesaikan di era pemerintahan Jokowi.

Hingga pada akhirnya hutang sebesar (kurang lebih) Rp3.727 Triliun harus ditanggung oleh pemerintahan Jokowi yang setiap tahunnya konsisten membayar cicilan hutang (bunganya saja) sekitar Rp250 Triliun. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 diketahui sebanyak Rp247,6 Triliun digelontorkan kembali untuk membayar hutang. Untuk menekan anggaran, tentu dalam hal ini pemerintah melakukan upaya penghematan dengan mencabut beberapa kebijakan subsidi BBM pemerintah sebelumnya dengan konsekuensi terjadi pertentangan publik.

Memang kenapa kalau subsidi tidak dicabut? Tentu menyebabkan neraca perdagangan menjadi negatif (defisit) yang tidak bisa selamanya mengandalkan back up dari cadangan devisa negara.

Dari sisi eksternal secara singkat, karena adanya peningkatan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) atau setara dengan 0,25% yang dikeluarkan oleh Federal Reserve (The Fed) yang merupakan sistem bank sentral Amerika Serikat. Selain itu dari sisi investasi, Amerika juga sangat gencar menarik investor negara lain dengan menawarkan tingkat “interest rate” yang cukup menarik meskipun tidak semua negara ambil bagian, terutama negara yang cukup kuat pertumbuhan ekonominya.

Jadi dengan beberapa pembahasan singkat di atas, apakah dampak yang signifikan terhadap fluktuasi mata uang dollar di masyarakat, khususnya warga Lombok-NTB? Bila kita merujuk kembali ke beberapa paragraf di atas jelas dikatakan bahwa barang-barang impor menjadi penyebab utama mengapa mata uang dollar kian menguat terhadap rupiah. Artinya dampak yang paling dirasakan adalah kenaikan harga barang impor seperti kendaraan bermotor (otomotif), elektronik, hingga fashion branded seperti tas dan pakaian seharga jutaan rupiah.

Apakah masyarakat menengah ke bawah secara signifikan terkena imbasnya? Jawabnya adalah “hampir dikatakan tidak.” Mengapa? Karena mayoritas masyarakat tidak membutuhkan barang mewah impor terutama bila sudah berurusan dengan pajak. Masyarakat lebih cenderung memperhatikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya yang disediakan di pasar.

Berdasarkan data yang dikeluarkan dan telah disahkan oleh Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak awal bulan Agustus hingga tanggal 8 September 2018 (tulisan ini dibuat) pantauan perkembangan harga barang kebutuhan pokok di tiga pasar tradisional Provinsi NTB yang meliputi Pasar Kebon Roek, Pasar Pagesangan dan Pasar Mandalika relatif stabil.

Ilustrasi – Aktivitas perdagangan di salah satu pasar tradisional.

Contohnya saja beras non-bulog rata-rata harga mulai dari Rp8.333 s.d Rp10.000,-/kg, harga gula pasir Rp12.000,-/kg. Untuk harga minyak goreng masih stabil di harga Rp10.200,-/ltr untuk minyak curah, dan Rp15.000,-/ltr untuk minyak kemasan premium. Beberapa harga pangan pokok lain juga terpantau menurun seperti daging ayam brolier mengalami penurunan dari Rp39.000 menjadi Rp34.833,-/kg. Harga telur Ayam juga terpantau menurun dari semula Rp26.667 menjadi Rp24.533,-/kg. Kemudian harga cabe merah besar dari yang semula Rp18.333,- sekarang turun menjadi Rp15.000,-/kg. Meskipun harga bawang merah dan putih terjadi kenaikan, namun dirasa tidak terlalu signifikan, dimana harga bawang merah dari semula Rp18.000,- naik menjadi Rp18.333,-/kg, sedangkan harga bawang putih dari semula Rp20.333,- naik menjadi Rp22.000,-/kg.

Selain data pantauan harga di atas, beberapa data harga pangan lain juga dapat dilihat setiap harinya di harian Suara NTB, sehingga memungkinkan masyarakat NTB dapat menilai komparasi harga yang sesungguhnya beredar di pasar.

Lantas mengapa masyarakat kita cenderung panik? Tiada lain karena sentimen negatif yang sudah didesain dengan apik di tengah suhu politik yang kian memanas. Kekhawatiran akan terulang kembalinya krisis moneter 1998 menjadi momok yang cukup menakutkan. Padahal menyamakan krisis ekonomi  1998 dengan yang terjadi sekarang di 2018 sangat tidak relevan. Tahun 1998 pelemahan rupiah terhadap dollar bisa mencapai 800% dimana nilai mata uang rupiah ketika itu anjlok dari Rp2.500,- menjadi Rp16.800,-. Bagaimana dengan keadaan saat ini? melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar rata-ratanya adalah berkisar Rp13.500,- s.d. Rp14.800,- sehingga para ekonom menilai rupiah masih aman meskipun harus tetap diwaspadai.

Sentimen negatif seperti yang belum lama ini terjadi ketika salah seorang cawapres yang memberikan pernyataan kontroversial di beberapa media bahwa saat ini uang senilai Rp100.000,- bila dibelanjakan di pasar hanya bisa membawa pulang cabe dan bawang. Sentimen negatif lain juga dikeluarkan dengan mengatakan bahwa ukuran tempe sekarang setipis dengan kartu ATM. Seketika itu banyak para “emak-emak” netizen yang beramai-ramai belanja ke warung dan pasar untuk membuktikan dan mengunggah video kegiatan belanjanya di sosial media. Sorotan-pun berdatangan karena hasil di lapangan tidak membuktikan hal yang demikian. Meskipun tidak masuk akal, namun pernyataan tersebut akan menciptakan suatu paradigma kepanikan tersendiri di benak masyarakat.

Tentu hal ini menjadi paradoks, dimana pernyataan yang dilontarkan jauh bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Maka, kedepannya diharapkan agar masyarakat dapat berpikir lebih kritis dan rasional atas segala informasi yang telah diterimanya. Peran ekonom dan akademisi sangat diperlukan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi sebagai bentuk tanggung jawab profesi kepada masyarakat. Namun tentu dengan mengedepankan aspek netralitas dan bersifat objektif yang berpedoman pada nilai-nilai etika.

Sebagai penutup sekaligus menjawab pertanyaan terakhir mengenai apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara khususnya kita yang berada di NTB untuk membantu menguatkan nilai mata uang rupiah? Jawabannya antara lain: membantu pemerintah dengan cara mendukung pengurangan penggunaan dollar karena impor (batasi konsumsi barang impor), menyesuaikan diri atas kenaikan harga BBM sebagai upaya pemerintah dalam pemerataan harga (program satu harga), membantu negara dalam pendapatan pajak (taat pajak), membantu pemerintah dan mendukung pembangunan infrastuktur berkelanjutan, meningkatkan kemampuan potensi daerah untuk menghasilkan produk layak ekspor, memaksimalkan aktivitas sektor jasa terutama pariwisata (potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan di NTB) dengan meningkatkan jumlah angka wisatawan dan industri kreatif nasional.

Semoga dengan ulasan singkat ini kita dapat lebih memahami dan menyikapi dengan bijak apa yang kini tengah menjadi kondisi riil perekonomian kita, serta dampaknya yang timbul di kehidupan masyarakat.

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter