Ahmad Bairizki, SE., MM.

Maraknya kerjasama yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi di Provinsi NTB, menjadi suatu perhatian yang cukup menarik bagi perkembangan dunia pendidikan saat ini. Sebagaimana berita yang telah dilansir melalui berbagai liputan media dalam kurun waktu belakangan ini, beberapa perguruan tinggi di kota Mataram dan di pulau Sumbawa seakan tengah berlomba melakukan “pencitraan” akan profesionalisme pendidikan yang mereka terapkan di lembaganya.

Hal ini disebabkan telah bergulirnya era globalisasi yang membuat kita harus mampu bertahan  di tengah persaingan yang semakin kompetitif. Untuk memajukan nilai-nilai sosial, ekonomi, dan teknologi yang kesemuanya berpondasi teguh kepada tiang pendidikan. Intinya nasib kita dimasa yang akan datang ditentukan dari apa yang kita kerjakan pada saat ini, termasuk halnya di bidang pendidikan.

Dari sekian usaha untuk memajukan bidang pendidikan, salah satunya dengan melakukan kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan harapan agar terjadinya perubahan pola pikir yang bersifat ilmiah dan edukatif secara terbuka ke arah pembaruan.

Contohnya saja kerjasama yang diwacanakan oleh salah satu perguruan tinggi Islam swasta di kota Mataram mengenai pelaksanaan PPL Internasionalnya, ada juga beberapa perguruan tinggi lain yang masih mencoba “peruntungan” menjajakan kerjasama peningkatan kompetensi mahasiswanya melalui program pertukaran pelajar, hingga politeknik yang dikabarkan sudah memiliki nota kesepahaman dengan beberapa negara Asia lainnya.

Sebenarnya apa makna, manfaat dan tujuan dari kerjasama internasional yang kini seolah menjadi tren di beberapa perguruan tinggi provinsi ini? Apakah murni sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan? Upaya pemeringkatan akreditasi? Upaya meningkatkan kompetensi mahasiswa? Atau mungkin hanya sebagai pencitraan semu lembaganya saja agar lebih terkenal di mata publik?

Sebelum menjawab hal tersebut marilah kita tinjau kembali daftar pemeringkatan perguruan tinggi swasta di kota Mataram. Mengapa kita perlu terlebih dahulu memperhatikan pemeringkatan tersebut? Mataram sebagai Ibu kota Provinsi NTB, dinilai dapat mewakili prestasi perguruan tinggi lainnya yang berada di Provinsi NTB. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti pada tanggal 3 Februari 2016 yang lalu, diketahui bahwa dari 3.320 perguruan tinggi terdaftar, sebanyak 21 PTS wilayah kota Mataram menempati sebaran peringkat yang masih rendah di skala nasional, mulai peringkat ke 423 hingga peringkat ke 2.946.

Adapun pemeringkatan tersebut diklasifikasikan atas beberapa indikator yang meliputi penilaian kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan mahasiswa, kualitas penelitian dan publikasi. Sehingga dengannya kita dapat menilai aspek kualitas profesionalisme pendidikan yang berada di lembaga perguruan tinggi di Provinsi NTB berdasarkan indikator yang telah disebutkan.

Kondisi lembaga perguruan tinggi saat ini sekiranya dapat menjadi cerminan bila kita ingin mengetahui tingkat kemajuan pendidikan tingginya. Kita tidak dapat menutup mata apabila pembenahan paling mendasar yang harus dilakukan adalah dimulai dari pembenahan kualitas SDM-nya. Siapa saja subjek yang menjadi SDM tersebut? Tentu saja para anggota yang berada di dalam organisasi kelembagaan perguruan tingginya. Mulai dari mahasiswa, para karyawan, dosen hingga unsur pimpinan yang terkait tidak luput dari peran dan tanggung jawab terhadap roda pendidikan di lembaganya. Pembenahan tersebut meliputi aspek kualitas kompetensi. Etika dan karakter kerap dilupakan, padahal etika dan karakter menjadi akar dalam pembentukan tunas kompetensi individu.

Revolusi mental yang digalakkan oleh pemimpin negara kita sejatinya harus diterapkan disetiap lini aspek kehidupan. Bukan hanya sebagai slogan yang gandrung di teriakan namun kosong dalam tindakannya. Disini peran penting lembaga perguruan tinggi dituntut untuk dapat memberikan pendidikan dasar pembinaan nilai-nilai karakter berdasarkan arahan Menristekdikti.

Untuk mendapatkan kualitas SDM di semua unsur, sejatinya lembaga tidak dapat menuntut setiap orang untuk tunduk dan patuh terhadap aturan bila para role model tidak serta merta memberikan andil yang baik sebagai panutan. Contohnya, terdapat mahasiswa yang tidak berpakaian rapih (terlihat berantakan), terlambat hadir di kelas, serta tindakan lainnya yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah dalam hal ini para unsur tenaga pendidik sudah memberikan contoh yang baik dengan berpenampilan rapih serta menunjukkan kualitasnya sebagai pengajar profesional yang bersertifikasi? Apakah kedisiplinannya juga diikuti dengan presensi pertemuan sesuai jadwal yang telah disepakati?

Seakan grooming tidak dinilai penting, lihatlah penampilan para pengajar profesional (dosen) di beberapa Perguran Tinggi yang telah maju dan go international baik di dalam dan di luar negeri. Setidaknya bagi dosen pria, ada dasi yang mereka kenakan ataupun pakaian lain yang menunjang etika profesionalismenya. Dalam hal kedisipilinan, mereka menyadari adanya reward dan punishment untuk setiap tindakan yang mereka lakukan. Inilah yang menjadikan suatu budaya organisasi dapat diterapkan dan dilaksanakan oleh semua elemen anggota lembaga.

Untuk meningkatkan kualitas SDM tentu harus dimulai dari komitmen setiap individunya terlebih dahulu untuk mau diubah dan mau berubah, mau diatur dan mau teratur. Setelah itu semua dapat dilakukan dan berjalan dengan baik, barulah kita bisa berbicara mengenai kompetensi (daya saing). Kemauan memiliki kompetensi internasional dapat diberdayakan dengan pengayaan berbagai program kegiatan pendidikan yang ada. Contoh kompetensi yang paling sederhana adalah program pendidikan bahasa Inggris.

Pulau Lombok yang menjadi destinasi pariwisata internasional seharusnya sudah memiliki bekal mumpuni untuk para kalangan akademisi dapat fasih dan mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Hal ini sejatinya dapat dimanfaatkan dan menjadi satu peluang kemudahan dalam meraih kepercayaan mitra perguruan tinggi luar negeri. Namun dalam keseharian yang terjadi, masih banyak para akademisi baik dosen dan mahasiswa yang gagap untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa internasional tersebut.

Keinginan untuk memiliki jalinan kerjasama internasional dibidang pendidikan nampaknya hanya menjadi mimpi di siang bolong bila para akademisi masih tersendat pada masalah bahasa. Apakah mahasiswa sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan baik? Bagaimana bila yang dipertanyakan adalah dosennya? Apakah para dosen yang dikatakan sudah memiliki sertifikasi tenaga kependidikan sudah mampu menggunakan bahasa internasional tersebut?

Kerjasama internasional yang baik sejatinya juga melibatkan unsur dosen dan pimpinan.  Para delegasi harus mampu membawakan dan merepresentasikan keunggulan lembaganya dan menjadikannya layak untuk sharing inovasi kepada mitranya. Tentunya sebagai mitra internasional, nantinya merekapun akan bertanya, benefit apa yang akan mereka dapatkan melalui kerjasama tersebut. Bila kerjasamanya adalah pertukaran pelajar, manfaat atau hal apakah yang dapat mahasiswa mereka pelajari dengan belajar di perguruan tinggi di NTB? Apakah mitra kerjasama mendapatkan fasilitas dan sistem pembelajaran yang telah memadai sesuai dengan standar yang mereka harapkan?

Bisa kita bayangkan, bila saja wacana pertukaran pelajar yang kian digembar-gemborkan oleh masing-masing perguruan tinggi tersebut benar-benar serius diterapkan. Artinya akan datang para mahasiswa dari negara asing untuk belajar di Perguran Tinggi yang ada di NTB. Bahasa apa yang akan mereka gunakan nanti kalau bukan bahasa Inggris? Sudah siapkah para dosen tersebut? Bagaimana dengan kemampuan mahasiswanya? Apakah program pendidikan bahasa Inggris yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh masing-masing perguruan tinggi telah memiliki kualitas output yang mumpuni?

Rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu untuk benar-benar mempersiapkan kompetensi dasar yang harus dimiliki. Pada tulisan kami terdahulu mengenai kebijakan impor guru besar asing sebagai upaya menjadikan perguruan tinggi Indonesia berkelas dunia, mengutip Menristekdikti yang menyadari bahwa terdapat dua permasalahan utama yang kita hadapi di perguruan tinggi (akreditasi B dan C) saat ini, yaitu permasalahan dosen dan permasalahan infrastruktur (fasilitas) di lembaga perguruan tingginya. Artinya hal ini sudah sangat relevan bila dikaitkan dengan aspek kualitas internal pada PTS yang berada di Provinsi NTB.

Relevansi tersebut berkaitan dengan kualitas manajemen yang ada di lembaga perguruan tingginya. Mulai dari keteraturan dan ketertiban administrasi, hingga pemanfaatan teknologi terbarukan dalam setiap aspek kegiatannya. Oleh karenanya regulasi dan sistem yang bersifat konservatif kini sudah dinilai usang dan harus segera ditinggalkan. Penggunaan e-library, metode pembelajaran tertentu yang diterapkan dengan sistem e-learning, kegiatan administrasi berbasis e-transaction, dan beragam pemanfaatan sistem perangkat media elektronik lainnya yang diterapkan. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti sistem teknologi terbarukan bila lembaga pendidikan tinggi tersebut ingin menjadi perguruan tinggi yang berdaya saing dengan salah satu caranya melakukan kerjasama internasional.

Dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang telah diatur dalam Permen tahun 2014 No.49 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, disebutkan bahwa selain kegiatan pembelajaran terdapat juga kegiatan penelitian dan pengabdian. Di atas telah disebutkan bahwa salah satu indikator pemeringkatan adalah penelitian dan publikasi. Rasanya penelitian dan publikasi yang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi di Provinsi NTB masih jarang yang menggunakan bahasa Inggris.

Tentu saja hal ini harus menjadi perhatian serius bagi setiap lembaga yang berkeinginan kuat untuk go international. Artinya pemberdayaan SDM melalui peningkatan kualitas di setiap aspek harus segera dilakukan sedini mungkin. Tentu saja akan membutuhkan waktu beradaptasi dan biaya yang tidak sedikit dalam operasionalnya, namun hal ini merupakan sebuah investasi emas yang hasilnya dapat kita nikmati secara berkepanjangan di kemudian hari.

Berlandaskan pemaparan yang telah diuraikan, akhirnya kita dapat menjawab pertanyaan inti di atas. Apakah makna, manfaat dan tujuan kerjasama internasional yang ingin dicapai? Bila sekedar peningkatan akreditasi dan pencitraan media, maka kemungkinan terbesarnya adalah perguruan tinggi tersebut akan tetap berjalan di tempat dengan menghabiskan anggaran keuangan lembaga.

Namun bila kita benar berfokus pada upaya peningkatan kualitas dan kompetensi SDM melalui pembenahan mentalitas dan karakternya, maka nilai akreditasi, pencitraan dan nama baik perguruan tinggi akan datang dengan sendirinya. Hal ini dikarenakan terdapat bukti kerjasama melalui hasil pencapaian pembelajaran dan kualitas lembaga yang dapat dilihat langsung oleh publik. Dengannya, bukan tidak mungkin setelah kerjasama terjalin dengan baik dengan para mitra dari Perguruan tinggi luar negeri, maka juga dapat menjadikan Perguruan tinggi di NTB bersaing di kancah nasional dan diakui di mata Internasional.

Sehingga untuk jangka panjangnya, kerjasama internasional memiliki nilai luhur untuk menjadikan NTB tidak hanya sekedar menjadi tujuan destinasi wisata saja, namun juga menjadi surga bagi para akademisi dunia untuk menimba ilmu. Semoga.

Oleh: Ahmad Bairizki, SE., MM. (Dosen & Kabag Humas STIE AMM Mataram)

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter