Dr. H. Umar Said, SH., MM.

Apabila suatu kebijakan ditinggalkan oleh penggagasnya maka hal yang sering terjadi adalah lenyapnya predikat yang telah diagungkan. Pada dasarnya banyak kebijakan yang mengandung ketidakpastian. Tentu hal inilah yang paling berkenaan dengan peran nilai dan etika dalam menganalisa kebijakan. Yang jelas ramalan kebijakan tidaklah sekedar memperkirakan seberapa besar hasil yang dapat diperoleh di masa yang akan datang. Mengenai kebijakan wisata halal yang telah dikeluarkan tentu tidak terlepas dari saran perihal konsekuensi mana yang paling bernilai bagi masyarakat walaupun terdapat kesulitan dalam menggunakan teori ekonomi sebagai alat analisisnya serta biaya dan manfaat untuk adanya pengakuan mengenai apa yang terbaik bagi masyarakat kemudian. Karena tidak adanya kepastian maka selanjutnya akan muncul akibat dari ketidaklengkapannya informasi dan pengetahuan tentang wisata halal itu sendiri untuk dapat diterima baik di masa mendatang.

Walaupun adanya konsensus yang sempurna pada dekade pencetusnya tentang nilai-nilai sosial yang penting, namun kita masih belum mengetahui kebijakan dan program mana yang berlaku dalam kondisi yang berbeda. Kita ketahui bahwa kebijakan halal yang sudah diproklamirkan terkait dengan persoalan moral dan etika, karena rekomendasi yang mengharuskan kita menentukan berbagai alternatif. Akan tetapi yang terpenting dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan naratif yang tidak saja bersifat empiris atau evaluatif. Oleh karena itu kita harus memilih dua elemen utama yaitu premis fakta dan premis nilai.

Premis fakta dapat kita buktikan dengan adanya berbagai monumen. Oleh karenanya monumen Wisata Halal yang bersifat faktual harus dibangun di ibu kota provinsi NTB. Karena pertanyaannya, suatu nilai atau etika akan membutuhkan argumen tentang mengapa suatu hasil kebijakan adalah baik untuk sejumlah orang, kelompok atau masyarakat umum. Sehingga semua pilihan mengandung premis fakta dan premis nilai apakah semakin hari kebijakan tersebut akan semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya?

Selanjutnya kompleksitas dari kebanyakan situasi pilihan yang terjadi kemudian dikarenakan suatu  model yang didasari pada tiga asumsi yang tidak realistis, meliputi pembuat keputusan tunggal, kepastian hasil yang terjadi oleh berbagai pilihan yang kompleks dan tidak membuat suatu pemeringkatan. Oleh karenanya sangat diperlukan Peraturan Daerah Provinsi NTB tentang Wisata Halal yang segera diperundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi NTB. Sebab sejarah telah banyak membuktikan akan pudarnya suatu kebijakan dikarenakan kuatnya arus gelombang modernisasi. Oleh karena itu tentu hal ini akan menjadi suatu kewaspadaan dan peringatan bagi kita.

Diakui atau tidak mempertahankan keberhasilan pada umumnya lebih berat daripada mencapai keberhasilan seperti halnya dalam produksi pangan yang pasang surut. Oleh karenanya diperlukan sikap proaktif dari badan legislatif, tetapi sepertinya para anggota yang terhormat justru malah membisu yang seharusnya mereka merekomendasikan keberhasilan seluas-luasnya.

Kita dapat melihat keberhasilan NTB dengan padi gogo rancahnya. Maka kemudian monumennya diletakkan oleh pemerintah di depan kantor Gubernur. Itu adalah suatu bukti sejarah keberhasilan Pemerintah NTB. Nah, bagaimana dengan tercapainya predikat wisata halal yang membanggakan ini? Sebab di seantero Indonesia telah dikenal bahwa NTB mempunyai predikat wisata halal dan sebelumnya Provinsi NTB telah lama dikenal dengan Provinsi dimana produksi padinya memiliki peningkatan yang cukup besar. Disamping itu keberhasilan tersebut telah menghasilkan manfaat yang besar terhadap pembangunan di Provinsi NTB disamping beberapa implikasi lainnya.

Keberhasilan kita dalam swasembada beras telah memberikan peluang untuk memupuk surplus pangan. Memang kita sadari bahwa surplus beras yang besar dapat menjadi beban pemerintah juga dalam mempertahankan harga dasar padi. Walaupun kita lihat harga dasar padi di tingkat petani telah ditentukan oleh pemerintah (sehingga dinamai Bulog). Kita ketahui bahwa Bulog merupakan satu-satunya lembaga yang diberi otoritas serta tanggung jawab untuk menjaga harga dasar serta bila perlu menyangga harga dasar padi. Maka kondisi dan situasi surplus inilah yang akan memerlukan persiapan biaya untuk menyiapkan stok dan penyimpanannya untuk menjaga kestabilan mengingat bahwa padi merupakan produk petani musiman dengan harga jual-beli bervariasi dan rentan terhadap hasil produksi yang bersifat musiman tersebut.

Jadi apabila harga beras turun adalah wajar karena lebih erat kaitannya dengan fluktuasi. Jadi kita dapat melihat trend harga riil padi yang terjadi dari tahun ketahun dalam jangka cukup panjang adalah merupakan suatu indikator yang dapat kita pakai sebagai salah satu informasi. Selanjutnya kita melihat pola makan kita dalam pasca swasembada beras. Masyarakat kita telah terbiasa makan beras sehingga makan beras menentukan status tersendiri apakah ia miskin atau kaya.

Untuk selanjutnya hal ini sangat mendukung pendapat Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad di dalam tajuk Suara NTB tanggal 26 Juli 2016 yang lalu mengenai pengentasan kemiskinan dengan adanya Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang diharapkan mampu mempercepat akses dan aliran keuangan daerah ke masyarakat, sebagai salah satu langkah mempercepat kesejahteraan masyarakat.

Jadi kebutuhan pokok yang pertama telah dimiliki oleh masyarakat khususnya masyarakat NTB sehingga secara sunatullah kita tidak mungkin dapat menghapus kemiskinan. Sebab sebagai suatu kemustahilan meniadakan orang mampu atau kaya di bumi ini karena Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu selalu berpasangan, sebagaimana telah diciptakannya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, gelap dan terang, miskin dan kaya, timur dan barat, dan sebagainya sehingga semua ciptaan semata-mata hanya sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya yang tertuang dalam Al-Quran (Adz – Dzariyat [51] : 56): “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu”. Sehingga melalui ciptaan yang berpasang-pasangan itulah kiranya kita dapat lebih memahaminya.

Oleh: Dr. H. Umar Said, SH., MM – Ketua STIE AMM Mataram

BAGIKANShare on FacebookShare on Google+Tweet about this on Twitter